- Back to Home »
- INFORMASI , PENGETAHUAN , SEX EDUCATION , TIPS »
- Pekerja Seks Korban Trafficking Susah berhenti
Sabtu, 22 Juni 2013
Rasanya tidak seorang pun punya cita-cita ingin menjadi pekerja seks. Banyak yang ingin berhenti dan mencari pekerjaan lain, tetapi ada hal lain yang membuat para pekerja seks korban trafficking tidak bisa keluar dari dunia tersebut.
"Orang mungkin menganggapnya pilihan hidup (untuk menjadi pekerja seks). Tapi bagi kami yang memahami masalah ini, belum tentu demikian," kata Riza Wahyuni, SPsi, MSi, psikolog dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jawa Timur saat dihubungi detikHealth, Jumat (21/6/2013).
Menurut Riza, ada banyak pekerja seks yang menjadi korban tidak pidana perdagangan orang atau trafficking. Ketika dibawa oleh sponsor atau penyalurnya, para perempuan korban trafficking yang semula dijanjikan dapat pekerjaan akan langsung dibebani utang.
Untuk melunasi hutang tersebut, para korban lantas dipekerjakan untuk melayani para hidung belang. Biasanya ada kesepakatan tentang berapa lama harus menjadi pekerja seks, tetapi dalam praktiknya ini adalah perangkap yang membuat korban susah untuk keluar.
"Sebenarnya ada yang pintar. Misalnya dikatakan utangnya lunas kalau sudah melayani 100 tamu, nah dia selalu mencatat. Tetapi ketika sudah dapat 100, ternyata tidak bisa langsung berhenti. 'Kamu tidur di sini, makan saya yang bayari, berarti masih punya utang lagi'," kata Riza.
Dampak dari eksploitasi seks yang dialami korban trafficking ada 2 macam yakni dampak fisik dan psikologis. Dicontohkan oleh Riza, dampak fisik misalnya infeksi menular seksual, sedangkan dampak psikologis bisa menjadi depresi atau bahkan berbagai bentuk gangguan jiwa.
Bukan cuma perempuan dewasa yang rentan diperdagangkan, anak-anak khususnya remaja putri juga banyak yang terjerumus. Banyak faktor yang membuat seseorang rentan menjadi korban, antara lain riwayat KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), tuntutan ekonomi, bujuk rayu dan sebagainya.
"Pada prostitusi anak, ada juga faktor lifestyle. Awalnya kepingin gaya hidup mewah, lalu ingin mendapatkannya dengan cara instan," tutur psikolog yang sudah menggeluti masalah trafficking sejak tahun 2005 itu.
sumber : health.detik.com